Tuesday 22 June 2010

Bagaimana Al-Qur'an Menjelaskan tentang Pengetahuan

Al-Qur’an diciptakan oleh Allah, sebagai panduan hidup manusia. Maka hukum-hukum dan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang asli dari Allah pastilah tidak akan pernah terjadi bertentangan antar ayat dan juga dengan ilmu pengetahuan (ilmu alam atau kehidupan di dunia). Jika ada suatu ayat dalam Al-Qur’an ternyata bertentangan dengan ilmu pengetahuan maka boleh jadi ilmu pengetahuannya belum menjangkau isyarat ilmu pengetahuan dalam ayat AL-QUR’AN tersebut, atau kita musti bertnya-tanya, mungkinkah ayat dalam AL-QUR’AN tersebut telah diubah manusia?
Contoh ayat Al-Qur’an: “Apakah manusia mengira akan dibiarkan tak terurus? Bukankah ia hanya berasal setitik mani yang dipancarkan?” (Al Qur’an, 75:36-37)
Suatu ketika, keterbatasan ilmu manusia mungkin hanya mampu menterjemahkan “setitik mani” seperti halnya “setetes air hujan”, tetapi ilmu kedokteran sekarang membuktikan bahwa air mani yang dipancarkan ke rahim “Dari keseluruhan sperma berjumlah sekitar 250 juta yang dipancarkan dari tubuh pria, hanya sedikit sekali yang berhasil mencapai sel telur. Sperma yang akan membuahi sel telur hanyalah satu dari seribu sperma yang mampu bertahan hidup. Fakta bahwa manusia tidak diciptakan dengan menggunakan keseluruhan air mani, tapi hanya sebagian kecil darinya, dinyatakan dalam Al Qur’an dengan ungkapan, “setetes mani yang ditumpahkan/dipacarkan”. Ternyata, Al-Qur’an benar dan ilmu pengetahuan membenarkannya.
Islam memiliki tuntunan yang sangat lengkap tentang kehidupan, maka menambah keyakinan kita bahwa AL-Qur’an benar2 firman Allah yang diturunkan untuk melengkapi Al-Qur’an-Al-Qur’an sebelumnya. Maka jangan heran “banyak orang kafir menuduh” bahwa Al-Qur’an 75% menjiplak Al-Qur’an Yahudi dan Kristen. Logika mengatakan, hukum yang baru akan menyempurnakan hukum yang lama. Begitu datang hukum baru, maka hukum lama batal.
Al-Qur’an diturunkan sebagai panduan hidup umat di dunia ini, sudah seharusnya menyinggung segala aspek kehidupan di alam ini terutama ilmu pengetahuan alam. Al-Qur’an juga diturunkan sebagai petunjuk keselamatan akhirat, maka akan terdapat petunjuk-petunjuk yang ahrus diikuti pemeluknya agar selamat diakhirat. Dan pada hakekatnya, petunjuk amal dan ilmu di dunia, agar pemeluknya berlomba-lomba mencapai kebaikan dan beramal untuk akhiratnya.
Suatu AL-QUR’AN yang benar-benar dari Allah dan masih asli (belum ada campurtangan nafsu manusia) maka akan bisa dibuktikan kebenaran ayat-ayatnya. Ayat yang berhubungan dengan akhirat tentu hanya keimanan lah yang akan meyakini, membenarkan, dan membuktikan. Sedangkan, ayat yang berhubungan dengan alam, jagadraya, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan manusia harusnya tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang telah dibuktikan kebenarannya secara empiris.

Thursday 3 June 2010

Tiga Kyai Bertutur Poligami (Perspektif Gender Kyai Pesantren)

Kyai H.M.Sulthon Abd.HAdi :Dalam hal poligami, laki-laki diperbolehkan apabila ia memiliki kelebihan dalam dua hal. yaitu kelebihan dalam ilmu pengetahuan dan kelebihan secara ekonomi. dengan dua kelebihan ini, laki-laki (asuami) punya bekal untuk dapat berbuat adil sebagaimana yang disyaratkan bagi orang yang berpoligami.
bila dua kelebihan ini tidak dimiliki oleh sang suami, maka dilarang untuk berpoligami.bahkan menurut Imam Ghozali, orang laki-laki itu haram kawin apabila ia tidak mampu mencari sumber yang halal baik untuk dirinya maupun keluarganya.

Kyai H.Abd.Nashir Fatah : Berdasarakan Nash Al-Qur'an, poligami diperbolehkan. hanya dengan persyaraatan yang sangat berat. yaitu suami harus bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya. apabila tidak dapat berbuat adil atau khawatir tidak dapat berbuat adil, suami hanya boleh memiliki satu istri.
ukuran adil itu meskipun hanya dalam hal materi (dari sisi dhahir,bukan batin), tapi sulit dilakukan. dan sebagaimana realita yang ada, jarang sekali atau sulit ditemukan laki-laki yang dapat berbuat adil aketika berpoligami. laki-laki termasuk berkhianat bila nikah dengan lebih dari satu istri.

Kyai H.Aziz MAsyhurai : poligami boleh dilakukan oleh suami asalkan mampu berbuat adil. adil ini berkaitan dengan hal-hal yang bersifat dhahir, seperti nafkah dan kebutuhan hidup yang lain. adil tidak berhubungan dengan perkara yang bersifat bathin.
meskipun demikian, untuk melakukan poligami suami harus tetap perhatikan keharmonisan rumah tangga. bila dapat merusak keharmonisan rumah tangga, sebaiknya suami tidak melakukan poligami meskipun ia mampu berbuat adil.
ajaran agama tidak mengatur keharusan ijin pada istri bagi suami yang akan melakukan poligami. tapi disisi lain, aturan pemerintah tentang larangan bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) untuk melakukan poligami adalah bertujuan untuk kemaslahatan keluarga.

Tiga Kyai bertutur Tentang Gender (Kebebasan Mengikuti Kegiatan Sosial)

Kyai H.Abd Nasir Fatah : Istri yang keluar rumah, baik bekerja ataupun untuk mengikuti aktifitas lain, tidak ada masalah. yang penting ketika istri keluar rumah tidak melakukan atau menimbulkan kemaksiatan, Antara suami dan Istri harus ada suatu rasa tegangrasa dalam masalah ini.
dan tidak benar jika ada suami yang mealarang istrinya untuk keluar rumah, sedangkan ia sendiri bebas sepenuhnya keluar rumah tanpa minta izin Istri. bila istri harus minta ijin suami maka suamipun harus minta ijin pada istri. dalam kehidupan keluarga. seorang suami serta istri harus saling memahami.

Kyai H.Sulthon Abd.Hadi :sebetulnya.yang paling utama dalam kehidupan keluarga adalah saling memahami antara suami-istri. dengan adanya saling memahami, tujuan dalam membangun rumah Tangga akan tercapai dengan baik.
karena itu, bila suami bebas mengikuti kegiatan diluar rumah, istri juga diperbolehkan. yang penting adalah antara keduanya harus selalu ada komunikasi, sehingga masing-masing dapat memahami apa yang dilakukan oleh lainnya.

Kyai H.Abd.Azis Mashuri : Istri boleh saja mengikuti organisasi atau kegiatan lainnya diluar rumah, asal saja minta ijin pada suami, ijin ini sangatlah ditekankan agar suami dapat mengerti kondisi istrinya ketika diluar rumah.

disamping ijin suami diperlukan, istri boleh saja keluar rumah untuk mengikuti kegiatan diluar rumah, asalkan ada pembagian tugas yang jelas antara kedua belah pihak.

dalam bukunya Ahmad Taufiq, M.Si